Sastra  

Sebuah Novel: Bara’ba, Roh Kuno Penjaga Palopo

Ilustrasi Pelaut Palopo
Ilustrasi Pelaut Palopo

Penulis: Fadly bahari

Di sebelah barat Palopo, terbentang sebuah hutan terlarang bernama: Bara’ba. Nama hutan ini berasal dari nama roh kuno penjaga hutan tersebut.

Katanya, roh kuno itu dulunya adalah raja manusia raksasa yang hidup ribuan tahun yang lalu. Ia salah satu dari sangat sedikit yang selamat dari banjir bah yang menenggalamkan bumi di masa nabi Nuh. Setelah banjir reda, raja itu, yang sebelumnya lalim, kemudian bertobat memohon ampun kepada Sang Pencipta, dan menyepi di hutan Bara’ba.

Sesepuh di Luwu menjelaskan, sudah sejak ribuan tahun yang lalu, setiap akan terjadi suatu peristiwa besar di Palopo, biasanya terlebih dahulu terdengar suara genderang yang ditabuh – yang gemanya berasal dari tengah hutan Bara’ba.

Orang-orang Palopo percaya betul bahwa yang menabuh genderang tersebut adalah roh Bara’ba, yang ingin memperingatkan orang-orang di Palopo bahwa suatu peristiwa besar akan segera terjadi.

Bara’ba juga dipercaya membentuk pagar gaib yang melindungi kota palopo sebagai pusat Kedatuan Luwu. Bukit Sampodo di selatan, hutan Bara’ba di barat, dan pulau Libukang di utara kota Palopo menjadi titik segitiga pagar gaib itu.

Seorang pelaut dari Luwu yang menjadi awak di kapal Eropa pernah bercerita, ada seorang kawannya yang berkebangsaan Rusia mengatakan kepadanya bahwa; dalam cerita rakyat di Rusia, dikenal sosok hantu bernama ‘Barabashka’ yang artinya “dia yang menabuh genderang”.

Orang Rusia percaya, setiap bangunan memiliki Barabashka sendiri. Informasi ini yang membuat orang-orang di Luwu berpikir bahwa Bara’ba – makhluk gaib penjaga pusat kedatuan Luwu – tampaknya memang benar-benar ada.

Entah bagaimana, cerita tentang Bara’ba terbawa sampai ke daratan Eropa dan menjadi cerita rakyat di sana. Besar kemungkinan, cerita itu terbawa oleh orang-orang Eropa yang datang berdagang di tanah Luwu, ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu, di masa-masa ketika kedatuan Luwu masih berjaya sebagai kerajaan maritim.

Ya, Kedatuan Luwu memang memiliki sejarah yang kaya, pasang surut selama ribuan tahun sebagai kerajaan maritim. Kota-kota pelabuhannya tersebar di beberapa titik teluk Boni, tempat di mana kapal-kapal pelaut Bugis dan Bajo menjadi pemandangan umum sepanjang tahun.

Kemegahan Kedatuan Luwu sebagai Talasokrasi, ada di ribuan tahun yang lalu. Di masa ketika kapal-kapal yang berlabuh di sana adalah kapal-kapal tangguh yang menavigasi pelayaran perdagangan antar benua.

Di masa itu pulalah, Suku Bajo sebagai bangsa pelaut merupakan bangsa terunggul di muka bumi karena, di saat bangsa-bangsa di belahan dunia lain hanya mampu berlayar dalam jarak dekat dan di perairan tenang seperi sungai, danau, atau pesisir pantai, Suku Bajo telah memiliki pengetahuan teknologi maritim dan navigasi astronomi yang membuat mereka mampu mengarungi samudera luas – menavigasi pelayaran jarak jauh dan menjelajahi wilayah-wilayah yang belum pernah dijangkau oleh manusia.

Apa yang dijelaskan kalangan ilmiah bahwa; sebelum Era Kolonial abad ke-16, Austronesia adalah kelompok etnolinguistik yang paling tersebar luas, mencakup separuh planet – dari Pulau Paskah di Samudra Pasifik bagian timur hingga Madagaskar di Samudra Hindia bagian barat – pada dasarnya adalah pencapaian suku Bajo di masa lalu. Ya, Masyarakat ilmiah lebih memilih menyebut pencapaian suku Bajo di masa kuno sebagai pencapaian bangsa Austronesia.

Selama ribuan tahun, suku Bajo dan Bugis seperti saudara kembar yang saling bahu membahu dalam bertanggungjawab menghidupkan urat nadi perdagangan antara bangsa di dunia. Di masa itulah, Kedatuan Luwu menjadi rumah bagi orang-orang pemberani dan petualang.

Pada bulan-bulan antara Oktober hingga April, saat angin musim dingin bertiup, kapal-kapal pelaut Bugis Bajo akan berlayar ke arah timur menuju Kepulauan Maluku, Papua, hingga mencapai pulau-pulau di samudera Pasifik. Sementara pada bulan-bulan antara April hingga Oktober, saat angin musim panas bertiup, kapal-kapal pelaut Bugis Bajo akan berlayar ke arah barat menuju Semenanjung Tanah Melayu hingga wilayah-wilayah yang jauh melintasi Samudera Hindia.

Di masa itu, banyak di antara iringan kapal-kapal yang bertolak dari kota-kota pelabuhan Kedatuan Luwu, mencapai kota-kota pelabuhan di perairan Eritrea, pantai timur Afrika, dan pulau Madagaskar untuk berdagang sekaligus menyambangi kerabat mereka yang telah menetap di sana.

Ada kapal yang kembali setahun kemudian, ada juga yang kembali hingga tiga tahun kemudian, yaitu kapal-kapal dagang yang mencapai wilayah Levant di Mediterania atau kapal-kapal yang membawa pedagang Bugis yang berniaga hingga jauh di pedalaman Asia tengah.

Sepulang dari pelayaran ke barat, para pelaut akan menjadi pusat perhatian sebagai Pa’carita (tukang cerita) di Lapo’ Tuak (warung tuak) yang banyak berjejer di sekitar pelabuhan.

Di masa itu, mendengar kisah-kisah perjalanan dari para pelaut adalah hal yang sangat popular. Orang-orang di kampung, yang tidak pernah ke mana-mana dan hanya menjalani rutinitas sehari-hari seperti bersawah atau berladang, sangat senang mendengar kisah-kisah perjalanan itu.

Kembalinya para pelaut dari berlayar adalah kembalinya bintang terang di hati mereka, yang pijarkan gairah di tengah kejenuhan hidup yang mereka jalani. Bagi mereka, kisah para pelaut penuh dengan harapan dan impian, dengan kegembiraan dan kecemasan, dengan keinginan yang membara untuk mengalami dunia yang lebih luas dan lebih mengagumkan di luar sana.

Karena itu, berita bersandarnya kapal dari barat akan cepat tersebar. Ini berita yang wajib dikabarkan di sawah dan di ladang. Seseorang akan marah jika berita ini terlambat ia dapatkan, karena itu berarti ia telat mendapatkan keseruan. Dan terutama, karena ia telat ditraktir.

Ya, sudah menjadi rahasia umum bahwa para pelaut atau mereka yang baru tiba dari perantauan adalah tuan tajir yang didapuk dadakan karena royal menghambur-hamburkan uang di warung tuak, meja judi dan arena sabung ayam.

Mereka adalah idola janda-janda kesepian; petani miskin yang jenuh sepanjang hari menunggui burung di sawah; anak-anak remaja yang belajar nakal; yaitu orang-orang yang mencari penghiburan dari kejenuhan dan kebatilan kehidupan. Mereka ini adalah orang-orang yang terpenjara keadaan social – segala kejenuhan dan keterbatasan. kisah-kisah para pelaut adalah cahaya yang menuntun mereka menuju kebebasan dan petualangan.

Di tengah-tengah keluhan janda-janda kesepian, pelaut adalah sosok yang diidamkan, simbol harapan bagi mereka yang terperangkap dalam keadaan sosial yang meruntuhkan semangat hidup. Petani miskin yang merindukan pengalaman baru dari rutinitas di sawah, dan anak-anak remaja yang haus akan kebebasan dari tekanan sosial yang menjemukan, melihat pelaut sebagai peluang untuk mengalami kehidupan yang lebih besar dan mengesankan.

Kisah-kisah para pelaut membawa harapan bagi mereka yang terperangkap dalam kejenuhan dan keterbatasan. Seperti cahaya yang menyinari jalan, kisah-kisah ini menjadi petunjuk bagi mereka yang ingin menemukan kebebasan dan petualangan dalam hidup. Bagi para pelaut, lautan adalah pangkuan ibu yang menyambut mereka dengan keindahan dan tantangan yang tiada habisnya, sebuah tempat yang menawarkan kebebasan yang mereka idam-idamkan. Dan bagi orang-orang yang merindukan pengalaman yang sama, kisah-kisah para pelaut adalah sumber inspirasi yang tak pernah padam, membawa mereka pada petualangan yang mengubah hidup mereka selamanya.

Jadi, ya, jika dalam suatu warung tuak ada meja yang dikerubungi banyak orang, sudah bisa dipastikan yang ada di kepala meja adalah seorang pelaut atau perantau.

Orang-orang kampung adalah pendengar setia yang tekun mengikuti alur cerita yang berbelit-belit dan rela mendengarkan bahasa yang terkadang asing. Mereka tabah menyimak cerita yang dituturkan dengan gaya bercerita para pelaut yang kadang petantang-petenteng, karena di dalamnya terdapat kegembiraan dan keajaiban, serta ketakutan dan penderitaan. Mereka menghayati setiap kata, membayangkan diri mereka sendiri berada di atas kapal besar yang bergulung-gulung di lautan lepas, menempuh ombak yang mengancam dan mengagumkan.

Mereka akan bertanya tentang tempat-tempat yang pernah dikunjungi, tentang cuaca dan ombak, tentang bahaya yang dihadapi dan keberanian yang diperlihatkan. Dan tentu saja, mereka akan menanyakan tentang harta karun yang mungkin didapatkan, tentang kekayaan dan kemegahan yang mereka bayangkan selalu mengiringi perjalanan para pelaut.

Dalam cerita itu tergambar bagi mereka bahwa para pelaut sebagai tokoh yang luar biasa – pemberani, gagah, dan penuh perjuangan dalam bertempur dengan badai, melawan gelombang, dan menghadapi segala rintangan yang ada di laut lepas. Bagi mereka, keberanian yang ditunjukkan oleh para pelaut adalah sesuatu yang luar biasa, bahkan mungkin di luar jangkauan pemikiran mereka.

Begitulah dinamika hidup di negeri para pelaut pemberani pada masa itu, penuh dengan harapan dan impian, dengan kegembiraan dan kecemasan, dengan keinginan yang membara untuk mengalami dunia yang lebih luas dan lebih mengagumkan di luar sana.

Dan ketika kisah perjalanan para pelaut tersebar luas, seiring dengan itu, tersebar pula istilah dari bahasa-bahasa asing yang pernah disebut para pelaut, yang nantinya akan memperkaya perbendaharaan kata orang-orang di Luwu dan sekitarnya.

Istilah dari para pelaut yang sudah mapan digunakan oleh masyarakat di Luwu hingga masa sekarang adalah ‘pete-pete’ yang maknanya merujuk ke segala macam angkutan umum. ‘Pete-pete’ berasal dari istilah Mtepe yang merupakan jenis kapal penumpang yang umum digunakan di pantai timur Afrika. Jadi, dari awalnya Mtepe sebagai sebutan angkutan laut, berubah menjadi Pete-pete untuk sebutan angkutan darat.

Salah satu peristiwa di belahan dunia lain yang sangat menarik perhatian orang-orang di Luwu pada saat itu, yang nantinya juga melahirkan perbendaharaan kata baru dalam Bahasa Tae’ adalah; peristiwa penangkapan Zhang Qian oleh bangsa Xiongnu, pada abad 2 SM.

Zhang Qian adalah petugas diplomat Dinasti Han Cina yang diutus untuk mencari aliansi militer dengan Yuezhi. Ketika ia melintasi wilayah Xiongnu, ia dan pemandunya tertangkap, sementara ratusan prajurit yang mengawal ekspedisinya semua terbunuh.

Ketika orang-orang Bugis yang berdagang dari Xiongnu kembali ke Luwu, mereka menceritakan peristiwa itu, bahwa ratusan prajurit dari Cina terbunuh ketika berperang dengan Xiongnu, hanya Zhang Qian, pemimpin ekspedisi, dan seorang pemandunya yang tidak dibunuh, tapi kemudian dijadikan budak tawanan. Zhang Qian diikat di sebuah tiang dan dibiarkan begitu saja di luar tenda hingga berbulan-bulan, diberikan makan dan minum hanya dua kali sehari, pagi dan sore. Hingga kegiatan perdagangan mereka selesai dan mereka harus meninggalkan padang perkemahan Xiongnu, mereka melihat Zhang Qian masih saja tampak terikat di tempat yang sama.

Waktu yang dibutuhkan pedagang Bugis untuk berniaga – dari berangkat hingga kembali pulang –  dengan Bangsa Xiongnu, adalah sekitar 3 tahun. Karena itu, 3 tahun kemudian, saat kapal dari Barat yang membawa pedagang dari Asia tengah bersandar di pelabuhan, hal yang banyak orang-orang tanyakan adalah kabar mengenai Zhang Qian.

“Hei, Tanri! Ada kabar terbaru tentang Zhang Qian?” tanya seorang pria tua dengan rambut putih.

“Ya, dia masih terikat di padang perkemahan Xiongnu,” jawab Tanri sambil meletakkan barang dagangannya di atas tanah.

Orang-orang banyak di sekitar pelabuhan yang mendengar jawaban Tanri menjadi gempar dan berbisik-bisik satu sama lain. Mereka tidak bisa mempercayai kabar yang mereka dengar.

“Bagaimana bisa? Sudah tiga tahun lamanya, tapi dia masih terikat di sana?” tanya seorang wanita dengan wajah terkejut.

“Benar-benar luar biasa! Tiga tahun lamanya,” sahut pria tua itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tanri melihat ekspresi kaget di wajah orang-orang kampung. Dia tahu bahwa cerita tentang Zhang Qian telah menjadi topik pembicaraan yang hangat di Luwu selama bertahun-tahun. Tanri memutuskan untuk memberi tahu mereka lebih banyak tentang peristiwa itu.

“Tenang! Zhang Qian seorang perwira militer yang terlatih. Selama tiga tahun ini Orang Xiongnu tidak menyiksa Zhang Qian. Mereka memberinya makan dan minum pagi dan sore. Mereka menghargai keteguhan hati dan ketenangan Zhang Qian. Tapi ya itu, Zhang Qian tidak dilepas. Satu kakinya dibelenggu lalu ditautkan dengan rantai sepanjang 2 meter pada sebuah tiang, jadi ia hanya bisa bebas bergerak sejauh itu dari tempatnya. Ia diperlakukan sebagai budak tahanan perang, karena sudah seperti itu aturan perang.”

Orang-orang kampung mendengarkan dengan seksama, tertarik pada setiap kata yang diucapkan Tanri. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana mungkin seseorang bisa bertahan hidup dengan kondisi seperti itu.

Pada kedatangan kapal dari barat 3 tahun berikutnya, Orang kampung di Luwu lebih-lebih tercengang lagi ketika mendengar kabar dari Tanri bahwa Zhang Qian masih saja terikat di tempat yang sama seperti berita 3 tahun yang lalu.

Mereka tidak menyangka bahwa Zhang Qian masih terikat di padang rumput setelah enam tahun lamanya. Orang-orang kampung merasa marah dan tidak bisa membayangkan betapa menderita hidup di tengah padang rumput dengan cara terikat seperti itu selama bertahun-tahun.

Beberapa orang bahkan mengusulkan membentuk tim misi penyelamatan. Mereka menyadari bahwa upaya untuk membebaskan Zhang Qian tidak mudah, namun mereka merasa tergerak untuk membantunya. Mereka percaya bahwa jika mereka tidak berbuat apa-apa, Zhang Qian akan mati dalam keadaan yang mengerikan dan sengsara.

“Kita harus segera bergerak dan membebaskan Zhang Qian,” ujar salah satu warga kampung dengan tegas.

“Kita harus berhati-hati. Bangsa Xiongnu adalah bangsa yang tangguh dan sulit dikalahkan,” timpal warga kampung lainnya dengan penuh kekhawatiran. Namun, beberapa orang lainnya tetap bersikeras dan ingin membantu membebaskan Zhang Qian dari penangkapan bangsa Xiongnu.

“Mungkin ada cara lain untuk membebaskan Zhang Qian. Kita bisa merundingkan hal ini dengan pemimpin bangsa Xiongnu,” usul warga kampung yang lain.

“Tenang! kita harus berpikir dengan tenang dan hati-hati. Kita akan membantu Zhang Qian, tetapi kita harus mencari cara yang tepat untuk itu,” ujar Tanri yang terharu dengan semangat keberanian orang-orang Luwu. Ia tahu bahwa tawanan Zhang Qian menjadi perhatian mereka selama bertahun-tahun dan mereka siap melakukan apa saja untuk membebaskannya.

Warga kampung Luwu pun merasa lega mendengar ucapan Tanri. Mereka tahu bahwa Tanri memiliki banyak pengalaman dalam berdagang dan memiliki banyak koneksi di berbagai tempat. Mereka berharap bahwa Tanri dapat membantu mereka dalam mencari cara untuk membebaskan Zhang Qian.

Akhirnya diputuskan; keberangkatan ekspedisi perdagangan ke barat di musim angin timur berikutnya akan membawa uang tebusan untuk Zhang Qian dan sebuah tim kecil terdiri dari beberapa orang ksatria pilihan terbaik dari Luwu. Jika uang tebusan tidak diterima maka opsi kedua adalah membebaskan Zhang Qian dengan cara menculiknya. Tanri, dengan keterampilan perniagaan yang dimilikinya, ditunjuk sebagai juru runding.

Ketika tim negosiasi itu menghadap pemimpin Xiongnu, Tanri sebagai juru bicara menyampaikan bahwa uang tebusan untuk Zhang Qian terkumpul dari sumbangan orang-orang di Luwu – baik itu dari para bangsawan atau pun orang biasa – yang sangat prihatin dengan situasi yang dialami Zhang Qian. Menolak tawaran uang tebusan ini dipastikan akan sangat mempengaruhi hubungan perdagangan  antara Xiongnu dan Luwu.

Tanri menekankan bahwa; orang Luwu tahu seperti apa itu seorang tawanan perang akan diperlakukan, yaitu akan menjadi budak tawanan. Tetapi, orang Luwu juga tahu bahwa seorang budak dapat dibeli. Dan sekarang, orang Luwu ingin menawar budak itu dengan harga yang pantas. Menolak tawaran ini berarti menolak berdagang dengan orang Luwu, dan penolakan itu bisa dipastikan akan mengakhiri hubungan perdagangan antara Xiongnu dan Luwu yang selama ini telah terjalin sangat baik.

Dalam pernyataannya, Tanri juga menyampaikan bahwa; jika Xiongnu menerima tawaran ini, kami orang Luwu tentu akan sangat berterima kasih kepada kebaikan hati bangsa Xiongnu, dan yakinlah bahwa Luwu adalah bangsa yang tahu bagaimana membalas kebaikan. Tetapi, kami juga meminta agar upaya tebusan ini tidak sampai diketahui Zhang Qian. Biarlah yang dia tahu adalah bahwa, kebebasan dirinya, semata-mata datang dari kebaikan hati pemimpin Xiongnu.

“Sangatlah terhormat bagi kami jika permintaan kami bisa dipenuhi, oh Pemimpin Xiongnu. Tapi kami harap upaya tebusan ini tidak sampai diketahui oleh Zhang Qian. Biarlah yang dia tahu adalah bahwa kebebasannya, semata-mata datang dari kebaikan hati Anda, pemimpin yang perkasa dan bijaksana.” Kata Tanri dalam diplomasinya.

Setelah mendengar seluruh uraian pernyataan dari Tanri, hati pemimpin Xiongnu tersentuh. Ia tidak menyangka bahwa peristiwa yang terjadi di negerinya mendapat perhatiaan yang demikian tinggi dari bangsa Luwu – mitra dagang bangsanya selama ratusan tahun – yang datang dari tempat yang sangat jauh di timur.

Di sisi lain, ia tak habis pikir, bagaimana mungkin ada orang-orang seperti ini? datang dari tempat yang sangat jauh; butuh berlayar berbulan-bulan melintasi laut dengan ombak yang ganas; kemudian mesti berjalan lagi selama-lama berbulan untuk tiba di negerinya; lalu, setelah tiba, menawarkan sebuah kesepakatan yang sama sekali tidak menguntungkan buat diri mereka? Jika saja ini tidak berlangsung di depannya, hanya cerita dari orang, ia pasti tidak akan percaya.

Akhirnya, dengan mempertimbangkan kelangsungan hubungan baik antara kedua bangsa, pemimpin Xiongnu bersedia membebaskan Zhang Qian. Dan untuk membuktikan ketulusan hatinya bahwa ia senantiasa ingin menjalin hubungan baik dengan Luwu, ia tidak menerima uang tebusan.

Tetapi, Tanri dengan cara halus mendesak pemimpin Xiongnu agar mau menerima uang tebusan tersebut. Tanri menekankan bahwa; ia dengan orang-orang yang ikut dengannya menjadi saksi kebaikan hati pemimpin Xiongnu yang telah berkenan meluluskan permintaan orang-orang Luwu untuk membebaskan Zhang Qian tanpa mau menerima uang tebusan. Ia berjanji akan menyampaikan hal itu sekembalinya ke Luwu.  Tetapi, uang tebusan itu adalah sedekah dari orang-orang Luwu yang telah ikhlas dilepas; seperti langit yang menurunkan hujan dan tidak berharap itu kembali.

Mendengar pernyataan Tanri, pemimpin Xiongnu menyadari bahwa adalah hal yang tidak mungkin lagi untuk menolak uang tebusan tersebut, tetapi ia tetap mencari akal agar ada sesuatu yang bisa diberikannya. Dalam hati ia senang karena menyadari bahwa perundingannya dengan orang Luwu, pada dasarnya, mengajaknya berlomba-lomba berbuat kebaikan. Akhirnya, ia mendapat ide, yaitu; menikahkan Zhang Qian dengan salah seorang istrinya. Uang tebusan dari orang Luwu bisa digunakan untuk membiayai pesta pernikahan tersebut.

“Baiklah! Ini keputusan dari saya: Saya sangat menghargai kesepakatan ini dan saya senang dapat menjalin hubungan baik dengan bangsa Luwu. Saya bersedia membebaskan Zhang Qian dari statusnya sebagai budak tahanan. Tetapi, saya akan mengikatnya dalam bentuk lain! Ia akan saya nikahkan dengan salah satu dari istri saya. Uang tebusan dari Luwu akan digunakan untuk membiayai pesta pernikahan tersebut. Apakah ini menjadi kesepakatan yang menguntungkan bagi kita semua?”

Mendengar keputusan tersebut, Tanri sejenak berpaling ke arah rekan-rekannya untuk meminta pendapat. Ia melihat seluruh tim yang ikut dengannya menganggukkan kepala.

Tanri menjawab dengan senyum di wajahnya, “Yang mulia, Pemimpin Xiongnu, anda sangat bijaksana. kami sangat setuju dengan usulan Anda. Ini akan menjadi awal dari terjalinnya ikatan emosional yang baik antara Xiongnu dan Luwu. Kami semua juga merasa terhormat dan bersyukur bahwa Zhang Qian akan menjadi bagian dari keluarga besar Xiongnu. Dan kami akan menjamin bahwa hubungan antara Xiongnu dan Luwu akan tetap baik selama-lamanya.”

Pemimpin Xiongnu tersenyum puas mendengar kata-kata Tanri. “Saya senang bisa berbicara dengan Anda, Tanri. Anda adalah orang yang pandai bernegosiasi. Saya harap kita bisa terus menjalin hubungan baik antara kedua bangsa.”

“Saya tahu bahwa bangsa Mesir menyebut negeri anda ‘Ta netjer’ dan bangsa Tachik menyebut negeri anda ‘jazeera al-khaliq’ – semua sebutan itu mengacu pada makna ‘Tanah Tuhan’. Nama anda pun, Tanri, sangat mirip dengan nama Tuhan kami ‘Tangri’ atau ‘Tengri’. Karena itulah, ketika saya berbicara dengan anda, saya sebenarnya canggung, saya seperti berbicara langsung dengan Tuhan saya,” ucap Pemimpin Xiongnu bercanda untuk mengalihkan pembicaraan, yang disambut tawa oleh Tanri dan seluruh rekan-rekannya.

“Sebenarnya bukan saya saja Yang Mulia, rekan di sebelah kiri saya ini panggilannya ‘Petta’, mirip dengan nama ‘Ptah’ Tuhan bangsa Mesir, lalu, rekan di sebelah kanan saya ini namanya ‘I La Galigo’, bagian depan namanya, I La, sama dengan nama Tuhan yang disembah sebagian orang-orang di bangsa Parthia ‘Ila’.”

Pemimpin Xiongnu terkejut lalu tertawa terbahak-bahak. “Baiklah! Saya ingin mengajak para Tuhan ini minum Soma. Saya ingin tahu bagaimana rasanya mabuk dengan Tuhan.”

Demikianlah, setelah semua kesepakatan selesai dibicarakan, Zhang Qian dibebaskan. Zhang Qian sangat terharu tetapi juga sangat bingung, mengapa ia tiba-tiba dibebaskan. Terlebih lagi setelah mengetahui bahwa dalam satu bulan mendatang ia akan dinikahkan dengan salah seorang istri Pemimpin Xiongnu. Ia berusaha mencari tahu apa penyebabnya, tapi tidak menemukan jawaban pasti selain dugaan bahwa mungkin itu berkat bantuan dari rombongan pedagang yang dilihatnya dari kejauhan sangat akrab dan dijamu dengan sangat baik oleh Pemimpin Xiongnu.

Zhang Qian menyadari bahwa kebebasan dirinya berkat sebuah kebaikan yang dirahasiakan. Tapi bagaimana pun juga, ia haruslah berterima kasih. Karena itu, sebulan kemudian dalam acara pernikahannya, ketika Tanri dan rekan-rekannya menghampirinya untuk memberikan selamat, dalam diam dan dengan mata yang berkaca-kaca ia memberi sembah sujud beberapa kali kepada Tanri dan rekan-rekannya, sebagai ungkapan rasa terima kasihnya.

Setelah pernikahan Zhang Qian usai dilaksanakan begitu pula kegiatan perdagangan, Tanri dan seluruh rombongannya bergerak meninggalkan perkemahan bangsa Xiongnu. Sementara itu, kabar tentang pembebasan Zhang Qian telah lebih dahulu tiba di Luwu. Keberhasilan misi itu telah menyebar luas. Karena itu, ketika mereka tiba di Luwu, mereka disambut penuh gegap gempita oleh orang-orang di Luwu yang telah menanti di pelabuhan. Orang-orang sangat berterima kasih kepada Tanri dan rekan-rekannya karena telah membawa kehormatan bagi bangsa Luwu. Mereka juga merasa terharu karena pemimpin Xiongnu telah menunjukkan sikap yang baik dan adil dalam memperlakukan Zhang Qian.

Yang menarik, setelah peristiwa itu, orang-orang di Luwu memiliki perbendaharaan kata baru. Nama  Zhang Qian  terserap menjadi kata ‘Sangkin’ dalam Bahasa Tae (Bahasa Bugis kuno), yaitu kata yang biasanya khusus digunakan orang Luwu ketika mengikat salah satu kaki hewan – seperti Ayam atau Kerbau – dengan utas tali yang panjangnya cukup untuk bisa membuat hewan tersebut leluasa bergerak di sekitar tiang atau pohon tempat ia ditambatkan. Di wilayah Luwu Utara ada pasar tradisional bernama ‘Pasar Sangkin’, dahulunya, pasar itu adalah pusat penjualan kerbau yang didatangkan dari daerah-daerah sekitar Luwu, seperti Toraja.

Demikianlah, kebiasaan orang-orang di masa modern yang memunculkan suatu kata keterangan atau kata kerja – dari sebuah kata benda, misalnya nama orang – pada dasarnya adalah warisan kebiasaan dari ribuan tahun yang lalu. BERSAMBUNG …

Fadly bahari

Penulis: Fadly bahari