Sejarah Gua Andulan, Makam Kuno Masyarakat Adat Siteba

Luwu, Wijatoluwu.com — Gua Andulan merupakan sebuah gua yang disebut sebagai gua pra sejarah peradaban milik masyarakat adat yaitu komunitas masyarakat Adat Siteba di Kecamatan Walenrang Utara, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel). Kemudian dalam perkembangannya, tebentuk 6 ke tomakakaan dan sudah menyebar ke tanah rata wilayah Walenrang.

Masyarakat di daerah itu, dulunya menganut paham Animisme dengan melakukan berbagai macam prosesi ritual baik dalam kegiatan suka cita maupun duka cita.

Sekaitan dengan ritual duka cita termasuk seperti apa cara mereka memprosesi setiap keluarga yang meninggal dunia, maka dilakukan secara adat istiadat atau budaya yang ada pada saat itu sekitar tahun 1920.

“Jadi masyarakat yang meninggal tempat pemakamannya di goa dan tidak ada yang ditanam di tanah,” ucap Tomakaka Siteba Yoran Pallawa.

Semua orang yang dimakamkan di dalam goa segala bentuk hartanya itu menyertai seperti emas gelang, giok dan parang. Goa tersebut juga sangatlah luas, masyarakat dulunya untuk menjangkau goa tersebut saat akan memakamkan masyarakat yang meninggal dunia, mereka menggunakan batang bambu lalu disambung dan diikat menggunakan sebuah tali.

“Gua di atas itu kan luas, untuk menjangkau goa dulunya itu mereka gunakan bambu. Jadi bambu itu disambung-sambung dan diikat lalu peti jenazah itu diusung naik dengan cara stapet,” tuturnya.

Uniknya, peti yang ada di dalam gua tersebut berbentuk kepala hewan, hal itu disesuaikan dengan strata sosial masyarakat terdahulu. Selain peti yang diukir menyerupai kepala hewan, terdapat juga sebuah liang untuk membedakan strata sosial masyarakat saat itu.

“Erong (Peti) itu dibentuk atau dibuat dengan model berbentuk kepala hewan disesuaikan dengan strata sosial yang meninggal. Untuk membedakan strata sosial seseorang sampai kepada tingkat pemakamannya di dalam goa itu dibagi lagi,” ungkapnya.

Diantara liang itu ada yang disebut sebagai liang sugi, yang di tempati oleh masyarakat kalangan hamba. Sedangkan liang kabongean digunakan sebagai liang orang-orang bangsawan Siteba.

“Ada namanya liang kabongean, liang sugi. Liang sugi itulah yang ditempati oleh para kalangan hamba yang banyak bertebaran di pinggir jalan masuk. Sedangkan liang kabongean itu di tempati oleh orang bangsawan,” jelasnya.

Masuk pada tahun 1930, belanda lalu mendatangi sejumlah wilayah yang ada di Luwu Raya dan Toraja, salah satu yang didatangi saat itu ialah wilayah masyarakat adat Siteba dengan membawa beberapa misi, seperti misi Agama, Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan.

“Setelah masuk belanda itu, mulai lah ada syiar agama. Ada satu pendeta yang datang namanya pendeta sangka, inilah yang menyiarkan agama kristen kepada masyarakat adat yang ada di siteba,” terangnya.

Tahun 1950an ke atas masuklah agama Islam, saat itulah dilakukanlah proses pengislaman dan saat itu juga fungsi gua Andulan tidak lagi dijadikan sebagai tempat pemakaman dikarenakan adanya ajaran agama yang mengharuskan orang ketika sudah meninggal itu harus ditanam (kubur) karena masyarakat sudah beralih ke agama Nasrani dan Muslim

Tahun 1960 masyarakat Adat Siteba lalu keluar menyebar ke tanah rata dihampir seluruh wilayah Walenrang dan Lamasi. Hilangnya fungsi gua sebagai tempat pemakaman nyaris terlantar oleh masyarakat adat Siteba, Pemerintah provinsi lalu mempekerjakan sebanyak 4 orang pegawai sebagai penjaga goa Andulan.

“Karena fungsi gua itu sudah tidak lagi dijadikan sebagai tempat pemakaman, hampir terabaikan oleh masyarakat adat di atas. Olehnya itu dinas yang pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan memperkerjakan 4 orang penjaga goa sebagai Pegawai dan memetakan kerangka manusia, besi dan harta orang yang sudah meninggal dan tidak boleh diambil atau dipindahkan,” ungkapnya Yoran.

Alasan tersebut diperkuatnya karena menurut kepercayaan masyarakat, benda yang ada dalam gua merupakan sesuatu yang sangat sakral. Olehnya itu setiap pengunjung diharuskan meminta izin ke penjaga gua saat hendak mendatanginya.

“Bagi kami masyarakat adat yang ada di atas itu adalah sesuatu yang sakral, karena untuk dibuka saja pada akses umum itu melalui proses ritual. Karena itu setiap pengunjung yang masuk meminta izin pada penjaga yang ada di atas untuk ditemani,” imbuh Yoran.

Sementara untuk tangga menuju gua Andulan sendiri dibangun saat gua ini dimasukkan sebagai salah satu cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Selatan. 4 orang pegawai yang bertugas menjaga goa lalu diberikan anggaran untuk mendesain dan membangun tangga menuju Goa Andulan tersebut.

“Gua ini dulunya belum ada tangga, nanti tangga itu ada pada saat goa ini dimasukkan sebagai bagian dari cagar budaya dinas kebudayaan provinsi (Sulsel) dan setelah itu mengangangkat 4 orang pegawai di atas lalu diberikan bantuan anggaran untuk mendesain akses menuju goa itu,” pungkasnya.