LUWU, Wijatoluwu.com – Praktik pengadaan seragam di SMA Negeri 1 Luwu, Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu, menuai sorotan publik. Pasalnya, sekolah diduga melibatkan Koperasi Pegawai Negeri (KPN) Bina Sejahtera yang dibentuk oleh para guru untuk mengelola penjualan seragam siswa, meski aturan tegas melarang lembaga pendidikan terlibat dalam kegiatan bisnis tersebut.
Padahal, Permendikbudristek Nomor 50 Tahun 2022 Pasal 12 secara jelas menyebutkan bahwa penyediaan seragam sekolah menjadi tanggung jawab orang tua atau wali siswa, bukan pihak sekolah.
Aturan ini juga sejalan dengan Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 dan PP Nomor 66 Tahun 2010, yang melarang tenaga pendidik maupun lembaga pendidikan memperjualbelikan seragam, baik secara individu maupun kolektif.
Namun kenyataannya, pengadaan seragam di SMAN 1 Luwu justru ditangani oleh koperasi guru. Koperasi tersebut diklaim memiliki badan hukum dan telah lama berdiri.
Kepala SMAN 1 Luwu, Andi Burhan, saat dikonfirmasi, Selasa (7/10), membantah adanya keterlibatan sekolah secara langsung dalam kegiatan bisnis tersebut.
“Koperasi itu milik para guru dan sudah berbadan hukum. Tidak ada keterlibatan sekolah, dan tidak ada aturan yang melarang pembentukan koperasi di lingkungan sekolah,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pengadaan seragam dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara komite sekolah dan orang tua siswa.
“Ini hasil musyawarah. Orang tua siswa juga yang meminta agar koperasi menyiapkan seragam. Bahkan ada yang berprofesi sebagai polisi, hakim, dan jaksa, tapi mereka tidak mempermasalahkan,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Koperasi Bina Sejahtera, Hasbia, yang juga guru di sekolah tersebut, mengakui pihaknya memang mengelola penjualan seragam.
“Koperasi bebas menjual, dan orang tua siswa juga bebas membeli di tempat lain. Tidak ada paksaan,” ucapnya, Jumat (3/10).
Namun, keterlibatan koperasi guru dalam pengadaan seragam dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan maladministrasi, karena secara tidak langsung tetap mengaitkan lembaga pendidikan dengan praktik bisnis.
Kepala Bagian Umum UPTD Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan Wilayah XI, Adam, menegaskan bahwa praktik tersebut tetap tergolong pelanggaran.
“Aturannya jelas. Sekolah dan guru tidak boleh terlibat dalam jual beli seragam, meskipun melalui koperasi. Itu tetap bentuk keterlibatan dan berpotensi menguntungkan pihak tertentu,” ujarnya, Senin (27/10/2025).
Adam menambahkan, pembelian seragam sepenuhnya merupakan tanggung jawab orang tua atau wali siswa tanpa intervensi sekolah.
“Praktik seperti ini bisa dikategorikan sebagai maladministrasi dan berpotensi mengarah pada pungutan liar (pungli), karena mengarahkan pembelian di tempat tertentu bertentangan dengan prinsip kebebasan dan keadilan dalam dunia pendidikan,” tegasnya.
Meski berbagai aturan telah mengatur larangan sekolah terlibat dalam pengadaan seragam, pihak SMAN 1 Luwu tetap bersikukuh bahwa praktik tersebut sah karena hasil musyawarah.
Ironisnya, pertemuan antara sekolah, komite, dan orang tua justru dijadikan dasar untuk mengalihkan pembelian seragam ke koperasi bentukan guru ASN, tanpa menjelaskan landasan hukum yang berlaku.
Praktik seperti ini dinilai mencederai semangat transparansi, integritas, dan keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan.









