Politik

Spanduk Provokatif dan Salah Kaprah soal Gugatan PSU Palopo

2211
×

Spanduk Provokatif dan Salah Kaprah soal Gugatan PSU Palopo

Sebarkan artikel ini

Opini, Wijatoluwu.com – Spanduk berwarna merah-putih yang terpampang di pinggir jalan kota Palopo menarik perhatian warga. Dengan tulisan mencolok “Kami Masyarakat Palopo Menolak!!! Gugatan Pilkada di Mahkamah Konstitusi”, spanduk ini tampak dibuat untuk membentuk opini publik tertentu. Namun, alih-alih memberi edukasi, justru memunculkan kesesatan berpikir yang berbahaya bagi nalar demokrasi.

Perlu ditegaskan sejak awal adalah gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi bukan ditujukan kepada pasangan calon tertentu, melainkan kepada penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU). Objek gugatannya adalah dugaan pelanggaran administratif atau ketidaksesuaian prosedur dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilwalkot Palopo.

Namun yang terjadi di lapangan justru kebingungan dan bahkan kepanikan dari sebagian kalangan. Spanduk yang mengatasnamakan “masyarakat” ini terlihat seperti reaksi politis yang dipicu rasa tidak nyaman terhadap upaya hukum yang sah dan dijamin oleh konstitusi. Pertanyaannya, kenapa harus panik jika tidak merasa bersalah?

Gugatan ke Mahkamah Konstitusi adalah hak setiap peserta Pilkada yang merasa dirugikan oleh proses penyelenggaraan. Hak ini tidak otomatis menjadikan pihak penggugat sebagai “ambisius”, apalagi “tidak ksatria” seperti yang dituduhkan dalam narasi spanduk tersebut. Justru menghindari proses hukumlah yang menunjukkan ketidaksiapan menerima kritik dan evaluasi.

Lebih parah lagi, spanduk ini menggunakan diksi yang menggiring persepsi seolah-olah gugatan ke MK adalah bentuk makar terhadap kehendak rakyat. Padahal, PSU itu sendiri dilakukan karena adanya rekomendasi dari lembaga resmi sebagai koreksi atas tahapan sebelumnya. Artinya, seluruh proses ini adalah bagian dari hukum dan demokrasi, bukan pengkhianatan terhadapnya.

Kita patut bertanya, siapa yang sebenarnya di balik spanduk ini? Apakah benar berasal dari masyarakat sipil yang paham akan konteks hukum? Ataukah ini bagian dari strategi penggiringan opini oleh pihak yang merasa terganggu dengan potensi terbukanya kembali ruang evaluasi terhadap PSU?

Narasi yang dibangun dalam spanduk sangat simplistis dan manipulatif. Masyarakat seolah diajak untuk percaya bahwa semua proses telah final dan tak boleh lagi digugat. Padahal, bukankah justru ruang gugatan itu yang membuktikan bahwa demokrasi masih hidup? Tanpa itu, kita hanya memiliki prosedur tanpa substansi keadilan.

Lebih mengkhawatirkan, munculnya spanduk semacam ini bisa mengintimidasi pihak-pihak yang sedang memperjuangkan keadilan melalui jalur hukum. Publik bisa jadi ikut terbawa arus sentimen negatif, tanpa memahami duduk perkara yang sebenarnya. Ini bukan hanya sesat pikir, tapi juga berpotensi membunuh nalar kritis warga.

Tentu kita semua ingin Palopo dipimpin oleh pemimpin yang sah secara demokratis dan legitimate secara hukum. Maka langkah paling bijak adalah membiarkan Mahkamah Konstitusi bekerja sesuai tugasnya. Jika gugatan itu tak berdasar, MK akan menolaknya. Tapi jika terbukti ada pelanggaran, maka koreksi harus diterima dengan lapang dada.

Yang patut dikritik bukanlah orang yang menggugat, tapi pihak-pihak yang mencoba membungkam jalur hukum lewat tekanan sosial dan propaganda visual. Demokrasi tidak akan sehat jika rakyat dicekoki narasi tunggal dan tidak diberi ruang untuk memahami proses hukum secara jernih.

Akhirnya, kita harus cermat membaca situasi. Jangan sampai spanduk yang tampaknya mewakili “suara rakyat” justru menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan tanpa koreksi. Demokrasi membutuhkan ruang diskusi, bukan hanya dekorasi yang meninabobokan akal sehat.

Gugatan PSU Pilwalkot Palopo ke Mahkamah Konstitusi bukanlah aib, melainkan bagian sah dari mekanisme check and balance. Jika ada yang panik, mungkin bukan karena merasa benar, tetapi karena takut kebenaran akhirnya terungkap.

Tinggalkan Balasan