“Guru Itu Bernama Ibu” Persembahan Untuk Ibu dan Seluruh Calon Ibu

Hikmah, Wijatoluwu.com — Tanggal 22 Desember Tahun Miladiyah diperingati sebagai hari Ibu Nasional, di Indonesia peringatan ini diresmikan pada Kongres Perempuan Indonesia 1938 sebagai wujud penghargaan dan kecintaan terhadap perempuan dan Ibu. Dari berbagai literatur kata “Cinta” begitu banyak diterjemahkan oleh Filsuf maupun para Sufi.

Teringat kisah saat Plato masih remaja, dia bertanya pada ibunya. “wahai ibu, bisa ibu jelaskan apa itu cinta?” Mendengar pertanyaan plato itu ibunya menjawab “wahai anakku pergilah ke sebuah taman dan ambilkan bunga mawar paling indah untuk ibu, tapi sekali kamu melangkah kamu tidak boleh mudur lagi dan berbalik arah dan ketika kamu sudah mengambilnya kamu jangan menggatinya dengan yang lain”

Plato jadi kaget dia bertanya cinta, malah disuruh mencari bunga mawar. Karena dia ingin mengabdi pada ibunya dia pun berangkat ke sebuah taman bunga. Saat tiba di pintu gerbang taman bunga, Plato sudah mendapati bunga mawar yang indah, dia pun hendak memetiknya tapi ketika dia mau memetiknya terbesit dalam benaknya “baru saja masuk sudah ada bunga yang bagus, apalagi di dalam pasti lebih banyak”.

Akhirnya Plato menggagalkan diri untuk memetiknya, dia pun terus melangkah manuju taman, memang benar apa yang Plato pikirkan, di dalam taman dia menemukan bunga yang indah. Tapi dia selalu berpikir kalau di depan pasti ada yang lebih indah sehingga tidak memetiknya. Plato terus melangkahkan kakinya sampai akhirnya dia tiba di gerbang keluar, di sana sudah tidak ditemukannya bunga mawar sehingga dia bingung. Akhirnya dia pun keluar dari taman tanpa membawa sekuntum bunga mawar untuk ibunya.

Setelah keluar, dia menghadap ibunya, melihat Plato tidak membawa bunga lantas bertanya “wahai anakku apa yang terjadi denganmu? Sehingga kamu tidak membawa bunga untukku?” Plato manjawab “wahai ibu, saat baru memasuki taman, saya mendapati bunga mawar yang cukup indah, namun saya tidak memetiknya karena saya berpikir di dalam pasti ada yang lebih indah, saya pun melangkahkan kaki ke dalam taman benar apa yang saya pikirkan begitu banyak bunga mawar yang saya temui, namun saya tidak mengambilnya karena saya berpikir kalau di depan pasti masih ada yang lebih baik sampai akhirnya saya tiba di pintu keluar, saya tidak menemukan lagi bunga mawar, dan saya pun menyesal karena keluar dari taman tanpa membawa bunga mawar untuk ibu”

Mendengar cerita dari Plato ibunya berkata “wahai anakku itulah cinta semakin kamu mencari yang sempurna maka kamu tidak akan pernah mendapatkan justru kamu akan menemukan kekecewaan”

Kisah Plato dan pesan Ibunya memiliki makna yang mendalam akan hakikat cinta yang sebenarnya. Kecintaan terhadap sesuatu ataupun lawan jenis mesti dipandang secara epistimologi bukan menggunakan kacamata ontologi.

Ibarat seperti kita ingin membeli sebuah cermin kadang melihat cermin itu secara ontologi, artinya kita melihat wujud secara materil atau eksistensial yakni terbuat dari apa bingkai dan unsur-unsur yang membentuk cermin tersebut.

Kadang kita membeli cermin bukan dari wujudnya, yang kita lihat adalah sejauh mana cermin menampilkan diri kita atau menampilkan realitas yang ada diluar cermin itu. Dari sisi itu, kita melihat cermin sebagai epistimologi sebagai alat pengetahuan sebagai wujud yang menampilkan wujud yang lain.

Cinta Seorang Ibu kepada anaknya adalah cinta ontologi dan epistimologi, segala bentuk pengorbanannya puncak dari kecintaan. Sebagai anak biologis dan ideologis sebuah keniscayaan untuk patuh dan taat serta memperlihatkan ahklak yang benar terhadapnya.

Pandangan teologi di dalam ayat Al-Qur’an juga dipertegas mengenai bentuk penyembahan kepada Tuhan yang diiringi dengan akhlak atau kecintaan dan tidak berbuat kasar kepada Orang tua, QS: (17) ayat 23.

“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (Qs. Al Israa’ [17]:23).

Nabi Muhammad SAW menggambarkan dalam Hadis terlansir dari Abu Hurairah, ia berkata,

“Datang seorang pria kepadanya Nabi SAW lalu berkata,

“Siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan denga baik?”

Beliau menjawab, “Ibumu”. Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?”

Beliau menjawab, “Ibumu”. Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?”

Beliau menjawab, “Ibumu”. Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?”

Beliau menjawab,“Ayahmu”.

Mustahil kita dapat membalas seluruh jasa Ibu yang telah mengasah, mengasih dan mengasuh, aliran doa serta ahklak yang baik mesti terus bermuara padanya, Nabi as, Rasul Saw. para Sahabat, Tabi’in , Tabi-tabi’in sampai pada ulama tak akan lahir tanpa seorang Ibu, para Filsuf pun demikian, seperti Plato yang banyak mendapatkan pelajaran dari Ibunya.

Ibu adalah guru kedua kita yang mengajarkan kehidupan dengan kasih sayang-Nya (Ar-Rahiim). Perempuan adalah guru ketiga kita yang mengajarkan menemukan jiwa (sakinah mawaddah wa rahmah).Semua orang yang mengajarkan kita satu ilmu adalah guru kita yang keempat (bil hikmah). Hingga tak perlu menunggu sampai tanggal 22 Desember untuk memberi kasih sayang kepada Ibu akan tetapi setiap hari ada aliran doa untuknya.

Allohummaghfirlii Waliwaalidayya War Hamhumaa Kama Rabbayaanii Shagiiraa

Artinya: “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku (Ibu dan Bapakku), sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku diwaktu kecil”.

Wallahu a’alam bishowab

Palopo, 22/12/2016
-MUH. IDRIS-