Oleh: Muhammad Rajab | Mahasiswa UNCP
Wijatoluwu.com — Perkembangan ilmu pengetahuan telah berjalan dengan demikian pesat, sementara itu perkembangan teknologi keimanan berjalan lebih lambat, para cendikiawan berpendapat bahwa semua penelitian harus dapat di pertanggung jawabkan, di sisi lain para agamawan lebih sibuk membicarakan persolan ukhrawi dan pesan normatif, sehingga tidak heran jika selalu terjadi benturan antara ilmu pengetahuan dan agama.
Agama Islam tentunya telah berpegang kepada teks Al-Qur’an dan hadist yang telah memberikan sebuah sistem sempurna dan tentunya telah mencakup semua aspek transendental (ukhrawi) maupun temporal(duniawi), dan termasuk dalam melakukan sebuah kegiatan ilmiah, dan penyelidikan ilmiah.
Tentunya yang di lakukan keduanya dapat memberikan interpretasi dalam proses untuk memberikan manfaat pada masing-masing sesuai dengan konteksnya.
Oleh karena itu dalam poros masing-masing terjadi sebuah integrasi atau keterhubungan antara sains dan agama. Dikotomi pengetahuan terjadi pada abad ke 19.
Pada abad tersebut munculah beberapa filosofi Galileo Galilei, Rene Descartes dangan (Cogito ergo sum), seorang filosof kelahiran Perancis tahun 31 Maret 1596, dan salah satu pencetus utama paham rasionalisme yang di mana akal sebagai instrumen utama dalam menelaah pengetahuan yang di sebut dengan abad Rene sains,atau abad pencerahan.
Tentunya ini menjadi pembahasan klasik Sampai abad ke 21 sehingga perlu adanya konsep-konsep baru untuk mengintegrasikan Sains dan Agama.
Agama di sisi lain adalah perasaan yang terletak di atas keyakinan kepada keserasian antara kita sendiri dan alam raya secara universal, tentunya agama yang dimaksud ialah keimanan akan mendorong kita untuk berbuat baik guna mendapatkan Rahmat Allah SWT. Oleh karena itu integrasi agama dan sains dapat kita pahami sebagai sintetis, sebab antara agama dan Sains saling melengkapi sebagaimana hubungan yang tergambar dalam metafora Albert Einstein yang di kutip oleh Max Jammer Sains tanpa agama lumpuh, agama tanpa sains buta.
Sains adalah pelengkap kemampuan untuk menemukan cara yang paling efektif dalam proses pelaksanaan untuk berbuat baik, pandangan Sains merupakan interpretasi terhadap agama, boleh dikata adanya ketergantungan sains terhadap sikap religius sebab hubungan dalam dunia sains terjebak oleh abad materialistik. Sains dan agama mempresentasikan dua sistem besar yang sama-sama memikirkan manusia. Yang tentunya memiliki pendekatan yang berbeda dalam konteks sains maupun agama, sains mengurus hal-hal yang sifatnya temporal dengan beberapa pendekatan ilmiah sedangkan agama yang sifatnya transendental sebagai pengatur perilaku atas norma-norma leluhur.
Adapun persolan sains mengenai realitas objektif tentang alam manusia, tentunya ketika agama berbicara tentang sains tidak ada permasalahan toh di dalam Alquran saja ada beberapa yang terjadi korelasi penelitian yang di lakukan para ilmuwan secara ilmiah dalam Alquran, itu mengisyaratkan bahwa sains dan agama masing-masing menopang satu sama lain pada konteks tenterntu, dan tentunya agama juga membahas hal-hal yang sifatnya temporal maupun transendental.
Oleh karena itu perjumpaan sains dan agama ini telah memberikan angin segar bahwa antara sains dan agama mempunyai keterhubungan satu sama lain pembagian tersebut hanya pada rana teoritis, keniscayaan adalah segala elemen kehidupan tidak lepas dari campur tangan pemiliknya, siapa pemiliknya pikirkan sendiri.
Sekian dan terimakasih