Oleh: Arzad, S.Pd.
Turnamen Domino Menpora RI Cup yang digelar dengan total hadiah hingga Rp300 juta di Kabupaten Luwu jelas menyita perhatian publik. Sayangnya, perhatian itu tidak lahir dari kekaguman, melainkan dari rasa getir dan ironi yang dalam. Di tengah kemewahan acara itu, warga Lamasi dan beberapa kecamatan lain masih menanti jawaban atas keluhan mereka terhadap jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki.
Jalan yang rusak bukan sekadar soal infrastruktur. Ia adalah simbol dari kehadiran atau absennya negara. Ketika jalan utama menuju desa-desa dibiarkan berlubang dan becek, maka warga di sana akan merasa bahwa mereka bukanlah prioritas. Rasa ditinggalkan inilah yang menjadi luka kolektif masyarakat di daerah-daerah terpencil.
Ironisnya, kegiatan domino yang digelar ini bahkan turut melibatkan banyak pejabat daerah dan nasional. Dari kepala daerah hingga pejabat kementerian hadir, lengkap dengan publikasi besar-besaran. Namun tak satu pun dari mereka tampaknya menyinggung atau meninjau langsung kondisi jalan yang telah lama dikeluhkan. Apakah ini bentuk ketidaktahuan, atau memang ketidakpedulian?
Pemerintah seharusnya tahu bahwa kepercayaan rakyat tidak dibangun dari seremonial megah. Ia tumbuh dari hal-hal paling dasar, jalan yang baik, pelayanan kesehatan yang mudah, pendidikan yang terjangkau. Jika semua itu tidak menjadi perhatian utama, maka sebesar apa pun panggung hiburan yang dibangun, akan tetap terasa hampa dan menjauhkan rakyat dari pemimpinnya.
Kita perlu bertanya “Apakah acara ini benar-benar untuk rakyat, atau sekadar ajang pencitraan elite?” Rakyat Luwu tidak menolak hiburan, tetapi mereka butuh pemenuhan hak-hak dasar terlebih dahulu. Jika jalan rusak saja tak bisa diurus dengan cepat dan serius, bagaimana bisa masyarakat percaya bahwa pemerintah akan mampu mengelola urusan yang lebih besar?
Kritik ini bukan untuk melemahkan pemerintah, tapi sebagai alarm agar tidak terjebak dalam euforia palsu pembangunan. Kesejahteraan tidak diukur dari banyaknya acara, tetapi dari kenyamanan hidup yang dirasakan langsung oleh rakyat. Saat jalan di Lamasi masih rusak parah, maka tidak ada pesta yang pantas dirayakan.
Sudah saatnya Pemda Luwu dan jajaran terkait meninjau ulang prioritas pembangunan. Tidak semua anggaran harus diarahkan untuk kegiatan bermuatan politis atau populis. Infrastruktur dasar harus menjadi fokus utama, sebab dari situlah fondasi kepercayaan rakyat dibangun.
Setiap kilometer jalan rusak yang dibiarkan adalah bentuk pengabaian yang membahayakan. Ini bukan soal kenyamanan semata, tetapi soal keselamatan dan kelangsungan hidup masyarakat. Truk yang tergelincir, ambulans yang terhambat, siswa yang terjatuh semua itu adalah bukti nyata bahwa pembangunan belum menyentuh inti.
Jika pemimpin lebih tergoda membangun panggung daripada membenahi fondasi, maka jangan heran jika kepercayaan rakyat tergerus pelan-pelan. Panggung itu mungkin akan roboh dan saat itu, sorak-sorai domino tak akan bisa menutupi retaknya legitimasi.
Mari kita dorong agar kepekaan sosial kembali menjadi inti dari kepemimpinan daerah. Keseimbangan antara hiburan dan kebutuhan dasar bukan hal yang mustahil jika pemerintah sungguh-sungguh memihak rakyat, bukan sekadar memoles citra.
Karena jalanan yang rusak itu, sesungguhnya sedang memantulkan wajah sesungguhnya dari kepemimpinan kita hari ini. Pertanyaannya “Apakah kita masih sanggup bercermin?”
Pemimpin yang bijak adalah mereka yang lebih dulu membenahi dasar sebelum menghias permukaan. Turnamen domino bisa digelar kapan saja, tapi kepercayaan rakyat yang dirusak oleh pengabaian tidak bisa dibangun kembali semudah membalik kartu. Pemda Luwu masih punya waktu memperbaiki arah, asal mau mendengar suara dari jalanan.