OPINI –Dalam kontestasi politik lokal, peran media begitu sentral. Ia adalah pilar keempat demokrasi, penjaga akal sehat publik, dan penghubung antara fakta serta warga.
Namun, bagaimana jika mereka yang seharusnya menjadi penjaga jarak justru melompat ke dalam gelanggang? Ketika wartawan memutuskan menjadi tim media calon kepala daerah, bukan sekadar netralitas yang hilang tapi juga integritas profesi.
Kita tidak sedang bicara soal hak individu untuk memilih atau berpolitik. Setiap warga negara bebas menentukan sikap politiknya, termasuk wartawan.
Tapi ketika seorang jurnalis yang sebelumnya meliput, menulis, dan membentuk opini publik kini berubah menjadi penyambung lidah calon tertentu, maka batas etika profesional telah dilanggar.
Ia tak lagi menyampaikan informasi, tapi propaganda. Ia bukan lagi pengawas kekuasaan, tapi bagian dari mesin kekuasaan itu sendiri.
Lebih dari itu, perpindahan ini sering dilakukan tanpa keterbukaan. Publik dibiarkan bingung, media kehilangan kepercayaan, dan batas antara berita dan iklan politik makin kabur.
Dampaknya? Masyarakat kehilangan sumber informasi yang dapat dipercaya. Bahkan, jurnalisme kehilangan pijakan moralnya.
Jika wartawan ingin terlibat dalam politik praktis, silakan. Tapi berhentilah menyebut diri wartawan. Karena profesi ini menuntut keberpihakan pada kebenaran bukan pada calon tertentu.
Demokrasi tak butuh jurnalis yang oportunis. Demokrasi butuh jurnalis yang berani berdiri di tengah badai, bukan ikut angin kemenangan.
Apalagi di tingkat lokal, di mana kedekatan personal dan relasi sosial begitu kuat, risiko keberpihakan wartawan terhadap calon tertentu makin besar. Ketika wartawan menjadi bagian dari tim sukses, berita yang ia hasilkan sebelumnya pun ikut diragukan.
Apakah semua liputan yang pernah dibuat selama ini murni berdasar fakta, atau sudah sejak awal merupakan bagian dari strategi membangun citra? Kredibilitas jurnalisme hancur bukan karena satu berita palsu, tapi karena publik merasa dikhianati oleh orang yang dulu mereka percaya.
Kondisi ini makin mengkhawatirkan ketika media tempat wartawan itu bekerja tidak mengambil sikap tegas. Seharusnya, redaksi berani menarik garis batas yang jelas: jurnalis tidak boleh rangkap jabatan sebagai tim sukses atau tim media politik.
Namun dalam banyak kasus, kepentingan ekonomi dan jaringan kekuasaan membuat media abai. Alih-alih menjaga profesionalisme, mereka membiarkan ruang redaksi berubah menjadi alat kampanye terselubung.
Padahal, publik butuh media yang independen lebih dari sebelumnya. Di tengah gempuran hoaks dan polarisasi politik, hanya jurnalisme yang jujur yang mampu menjadi penawar. Ketika wartawan berpihak pada calon, siapa yang akan mengawal proses demokrasi?
Siapa yang akan bertanya keras saat janji-janji kampanye mulai dilanggar? Tidak ada. Karena mereka sudah menjadi bagian dari sistem yang seharusnya diawasi.
Peran wartawan tidak berhenti di ruang redaksi. Ia punya pengaruh moral, sosial, bahkan politis. Maka ketika peran itu diselewengkan, dampaknya bukan hanya pada institusi pers, tapi juga pada kualitas demokrasi itu sendiri. Kita akan melihat pemilih yang tersesat karena informasi bias, serta kebijakan publik yang lahir dari ilusi, bukan kebutuhan nyata rakyat.
Jika seorang wartawan ingin terlibat dalam politik, sebaiknya ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wartawan untuk menghindari konflik kepentingan dan menjaga independensi media.
Masuklah ke ranah politik secara terbuka, dan biarkan publik menilai secara adil. Tapi selama masih membawa identitas wartawan, maka berpihak pada kebenaran adalah satu-satunya sikap yang layak dipertahankan.