Oleh: Ahmad Rafiq
(Mahasiswa Fak. Pertanian UNISMUH Makassar)
Wijatoluwu.com — Saat ini ini kita merasakan perubahan zaman yang begitu besar yang dirasakan oleh semua orang yang ada di dunia ini, dampak yang didapat pada perubahan tersebut yang paling besar adalah akses informasi yang dengan mudah didapat baik informasi media cetak, televisi, media sosial dan media internet lainya.
Perubahan yang signifikan berdampak pula pada peranan mahasiswa yang ada di negeri ini, mahasiswa zaman modern saat ini terbawa arus oleh perubahan zaman yang membuat seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi disekitar kita, tidak peduli dengan lingkungan sekitar, bahkan yang lebih parah lagi kita terlalu cuek dengan kondisi politik negara saat ini.
Sejarah indonesia mencatat, perubahan orde baru menjadi reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto salah satu peran mahasiswa terbesar dalam sejarah, ketika sistem perpolitikan indonesia saat itu sangat tidak kondusif sehingga mahasiswa sudah saatnya untuk bertindak melawan pemerintah yang sangat tidak pro dengan rakyat. Itulah yang dilakukan mahasiswa pada saat sebelum abad 21 ini.
Pasca adanya tuntutan reformasi ‘yang tercapai’, hari ini kita menanyakan bagaimana kabar gerakan pemuda atau yang biasa kita dengar dengan gerakan mahasiswa. Apakah masih konsisten mengusung tentang tema kesejahteraan bangsa, atau malah terjebak oleh suatu budaya konsumtif.
Dengan melihat berbagai fenomena yang ada, dapat kita katakan bahwasanya gerakan pemuda saat ini telah dininabobokan oleh budaya konsumtif dan pragmatis. Dua faktor tersebut seakan – akan menjadi penyebab kematian pergerakan pemuda di era reformasi.
Kebingungan akan bangsa ini tidak menghalang mewabahnya dua virus tersebut, mereka seakan tuli dan buta terhadap tantangan yang dihadapi bangsa saat ini. Kalau dianalisis, banyak faktor tumpulnya taring gerakan mahasiswa.
Antara lain, sistem pendidikan yang membatasi masa study, gerakan yang tidak terkonsolidasi, organisasi kemahasiswaan yang bermuara pada kepentingan seglintir orang, terkontaminasi dengan kepentingan politik internal maupun eksternal kampus, tekanan dari pihak kampus, dan terjebak dengan kemajuan tekhnologi informasi.
Disisi lain perguruan tinggi membatasi masa studi mahasiswa. Jika masa studi telah berakhir namun mahasiswa belum menyelesaikan perkuliahan nya, maka mahasiswa bersangkutan harus bersiap-siap dikeluarkan dari kampus tersebut. Pada umumnya masa studi mahasiswa di perguruan tinggi berkisar antara 4-7 tahun. Bahkan untuk menamatkan jenjang sarjana, tidak sedikit mahasiswa menempuhnya haya 3-4 tahun.
Kondisi demikian menyebabkan mahasiswa fokus mencari nilai yang tinggi, berupaya cepat tamat, dan berharap cepat mendapatkan pekerjaan. Segala hal yang menghambat tujuan tersebut akan dihilangkan, termasuk berorganisasi.
Banyak mahasiswa yang beranggapan bahwa organisasi akan menghambat perkuliahan, kalaupun ikut berorganisasi, maka organisasi yang diikuti adalah organisasi yang mendukung nilai dan cepat tamat. Sehingga, organisasi yang sifatnya kritis sudah mulai jarang diminati mahasiswa.
Pembatasan masa studi tersbut lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya, mahasiswa diarahkan menjadi robot-robot yang mengikuti arus kebijakan pasar. Memang sistem pendidikan kita telah berorientasi pasar, yakni mahasiswa adalah produk dan kampus adalah penghasil produk.
Mahasiswa sebagai produk akan diserahkan kepada pasar. Sistem seperti ini secara tidak langsung melemahkan gerakan mahasiswa. Karena sistem pasar tidak pernah menginginkan suara-suara kritis. Sedangkan sekarang, organisasi-organisasi mahasiswa tampaknya sibuk bersaing menanamkan pengaruh di kampus.
Hanya saja yang paling menonjol adalah eksistensi dan kepentingan, bukan perjuangan. Misalnya pada momen penyambutan mahasiswa baru tampak jelas “ persaingan” mencari kader-kader baru. Hal ini juga menunjukan organisasi mahasiswa telah kesulitan mencari kader baru.
Mahasiswa menjadi terkotak-kotak karena saling menonjolkan eksistensi organisasi masing-masing dan terkontaminasi dengan kepentingan birokrasi kampus maupun eksternal kampus. Ini jelas-jelas merugikan mahasiswa secara keseluruhan. Kondisi ini juga melahirkan mahasiswa yang apatis terhadap organisasi mahasiswa, persoalan kampus dan kampus.
Terakhir gerakan mahasiswa semakin redup ketika banyak mahasiswa terjebak dengan kemajuan tekhnologi. Misalnya jejaring social seperti facebook, dan permainan game online, membuat mahasiswa asyik dengan dirinya sendiri dn kurang peduli dengan kehidupan sekelilingnya. Ditambah lagi budaya instan yang berkontribusi terhadap lemahnya gerakan mahasiswa.
Banyak mahasiswa yang menjadikan pusat perbelanjaan dan hiburan sebagai rumah kedua. Sementara berkunjung ke desa-desa, pemukiman kumuh, daerah bencana alam, dan tempat-tempat orang miskin, adalah hal yang sudah jarang dilakukan mahasiswa.
Apa yang terjadi dengan bangsa ini kedepan jika mahasiswa yang katanya agent of social control: pada kenyataanya Apatis, Hedonis dan Pragmatis? Apa yang terjadi jika mahasiswa hanya menjadi alat penguasa dan milik pemodal?
Jawabanya adalah pasti bangsa ini akan terpuruk. Lantas bagaimana menyalakan gerakan mahasiswa kritis? Itulah yang perlu dipikirkan oleh mahasiswa secara kritis dan kreatif. Hidup mahasiswa..!!!!
SENDIRI MEMBACA, BERDUA DISKUSI, BERTIGA ATUR STRATEGI, DAN SELEBIHNYA AKSI……………!!!
AWALNYA TERPAKSA, KEMUDIAN TERBIASA, DAN AKHIRNYA BISA DALAM MENGUKIIR CITA-CITA…..