Oleh: Panji (Mahasiswa UIN Palopo)
OPINI – Adalah sebuah tragedi moral ketika sebuah kepemimpinan yang seharusnya menjadi teladan peradaban justru berubah menjadi simbol kezaliman struktural dalam tubuh organisasi mahasiswa. Kepengurusan DEMA Fakultas Syariah 2025 yang semula menjanjikan perubahan, integritas, dan marwah kini hanya tinggal narasi kosong yang dibantah oleh realitas dan praktik sehari-hari mereka sendiri.
Klaim sebagai pengurus yang paling “bermarwah” dan “berintegritas” nyatanya hanya menjadi kedok untuk menutupi manuver otoriter yang dibalut dengan dalih etika kelembagaan. Pemecatan dua orang menteri tanpa mekanisme prosedural seperti SP1 maupun SP2 merupakan bukti nyata betapa longgarnya pemahaman kepemimpinan dalam tubuh pengurus hari ini. Ini bukan hanya soal ketidaktahuan terhadap mekanisme organisasi, tapi adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dilanggengkan dengan narasi suci yang menyesatkan.
Yang lebih menyakitkan bukan hanya tindakan pemecatannya, tapi standar ganda yang diterapkan: masih banyak staf yang tidak aktif sejak awal pelantikan hingga kini tetap dipelihara dalam struktur tanpa evaluasi, tanpa sanksi. Maka, sangat layak publik bertanya: apakah ini benar-benar tentang marwah? Ataukah ini hanya bentuk kecemburuan politik dan ego sektoral yang dilampiaskan secara semena-mena?
Para menteri yang dipecat bukanlah individu tak berkontribusi. Justru mereka adalah pionir di awal pembentukan kabinet. Namun perlahan mereka menjauh, bukan karena tidak profesional, tapi karena jijik terhadap praktik-praktik inkonstitusional yang dilakukan oleh elite pengurus itu sendiri terutama saat seorang “bendahara” dari luar lembaga dibawa masuk. Ini adalah bentuk pelanggaran etika organisasi yang paling dasar.
Kemudian muncul fanplet saat penyambutan mahasiswa baru, menampilkan pengurus inti dengan PDH DEMA, logo resmi lembaga, namun mengenakan gordon lembaga eksternal. Aksi teatrikal ini tidak hanya mencoreng wajah DEMA Fasya, tapi juga menunjukkan betapa banalnya pemahaman mereka tentang integritas. Apa tidak cukup bukti bahwa yang merusak marwah bukanlah dua menteri yang dipecat, melainkan para elite yang memanfaatkan lembaga sebagai panggung pencitraan pribadi?
Lebih jauh, identitas Fakultas Syariah yang secara resmi merupakan nomenklatur institusional diubah sepihak menjadi Fakultas Pergerakan. Sebuah langkah sembrono yang mencerminkan arogansi intelektual dan kebodohan birokrasi. Mengubah identitas institusi tanpa musyawarah resmi adalah bentuk perampasan otoritas simbolik fakultas oleh segelintir orang yang menjadikan organisasi sebagai boneka ideologi pribadi.
Yang paling fatal adalah ketika dinamika internal lembaga justru dibahas di grup WhatsApp eksternal, yang tidak hanya mencoreng prinsip confidentiality, tapi juga menunjukkan betapa lemahnya kepemimpinan dalam mengelola ruang privat organisasi. Ini bentuk pengkhianatan terhadap etika organisasi.
Seorang pemimpin seharusnya menjadi jembatan bukan tembok. Tetapi yang terjadi, ketua hari ini justru menjadi aktor utama dalam membelah kabinet dari dalam. Ketika pemimpin tidak mampu membaca perbedaan latar belakang kadernya, apalagi gagal merangkul dan mengayomi semua pihak, maka yang ia bangun bukan kabinet, melainkan kerajaan kecil yang didirikan di atas kesetiaan buta dan fanatisme sempit.
Mereka yang memilih menjauh dari struktur bukan karena tidak cinta organisasi, tetapi karena mereka tidak ingin terlibat dalam kemunafikan kolektif yang dilabeli dengan jargon “marwah dan integritas.” Mereka memilih jalan hijrah menuju kebenaran, meski dibayar mahal dengan pemecatan.
Saya teringat sebuah kutipan tajam “Dunia bukan hanya rusak oleh orang jahat, tetapi juga oleh orang bodoh yang diberi kekuasaan, dan tidak tahu bagaimana menggunakannya.”
Dalam konteks ini, lebih mengerikan, karena sang pemimpin bukan hanya bodoh, tapi juga jahat.
Inilah hasil dari kepemimpinan yang anti-kritik, eksklusif, dan didorong oleh syahwat kuasa. Bukan kabinet yang runtuh karena dua menterinya, tapi justru pemimpinnya lah yang menjadi biang kehancuran dari dalam.
Catatan Akhir:
Jika engkau tak mampu bersikap netral, tak mampu bersikap adil, dan tak bisa membedakan antara marwah dan ego, maka ketahuilah: jabatan yang kau emban bukan lagi amanah, tapi dosa struktural yang akan terus hidup dalam ingatan para mahasiswa yang engkau khianati.
Terima kasih, wahai teman, yang kini telah berubah menjadi ular. Ini bukan tulisan benci, tapi otopsi kepemimpinan yang mati bukan karena serangan dari luar, tapi karena dibusukkan dari dalam oleh pemimpinnya sendiri.