Opini  

Supremasi Digital

Wijatoluwu.com — “Selamat datang direvolusi keempat umat manusia, sekaligus tantangan terbesar yang pernah dihadapi dunia kita sejak pompa uap dipatenkan pada abad ketujuh belas” Chris Skinner.

Didalam buku Human Digital karangan Chris Skinner, ia membagi lima fase atau era manusia, diantaranya era pertama: penciptaan keyakinan bersama, lanjut ke era kedua: penciptaan uang, era ketiga: revolusi industri, di era keempat: jaringan, dan di era kelima soal masa depan.

IKLAN

Peradaban manusia detik ini sudah berkecimpung di era keempat: jaringan, bahkan mulai merangkak ke era kelima, ini merupakan suatu keniscayaan atau hal yang tidak bisa untuk dipungkiri, dikarenakan kemajuan suatu zaman didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian dinamis.

Era jaringan atau kita kenal dengan digital system atau digitalisasi, yang memuat agenda mengkomprehensifkan setiap sektor kehidupan dengan digital systemnya. Digitalisasi umat manusia membawa kita untuk mengikis batasan dan mengatasi eksklusi.
Itu bisa dilihat atau tercermin dari aktivitas manusia yang tadinya serba manual berubah menjadi serba digital, dari peristiwa ini Supremasi Digital mesti mengambil peran untuk membuat suatu barrier dan koridor, agar pelaku digital tidak semena-mena dan tidak ada yang tertindas pada era ini.

Dewasa ini, supremasi digital menjadi aspek yang sangat urgentif, itu disebabkan data dengan sajian digital dalam kontekstualisasi tertentu, bisa jadi lebih berharga atau memiliki value lebih dibanding minyak, emas dan gas bumi, meski hal itu tidak bersifat hitam putih atau tidak serta merta. Artinya, jika perilaku geopolitik para adidaya zaman dulu selalu menyasar target minyak dan gas sebagai tujuan (geoekonomi) melalui perang (militer) konvensional ataupun perang nirmiliter atau kerap terjadi invasi secara terbuka antar negara-negara akibat isu (rebutan) sumber-sumber minyak.

Sepertinya di era Revolusi Industri 4.0, vitalitas geopolitik telah berubah menjadi pencaplokan data dan pengendalian digital melalui cyber warfare (peperangan siber). Kenapa? Sebab hampir semua aspek kehidupan seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan (pancagatra) dan trigatra yang meliputi geografi, demografi dan sumber daya alam, selain semua hampir berbasis pada jaringan, juga bisa dikendalikan lewat digital system atau AI sebagai imbas dari tranformasi digital pada pelbagai sektor terkait.

Jadi, Supremasi digital di era 4.0 adalah hal yang subtansial dan krusial bagi suatu negara. Studi kasus terdekat seperti Tiongkok misalnya, boleh dijadikan referensi soal supremasi digital karena beberapa sosial media asing semacam Facebook, Instgram, Whats App, Twitter dan lain-lain termasuk YouTube tidak boleh masuk alias dilakukan pemblokiran terkait aplikasi tersebut. Sebaliknya, ia meyediakan platform bernama Baidu sebagai mesin Artificial of Intelligence di bidang search engine atau sebagai pengganti daripada google, ataupun Weibo sebagai pengganti Facebook atau Twitter dan yang lagi viral belakangan ini aplikasi bernama TikTok sebagai alternatif daripada YouTube untuk warganya.

Dari uraian tersebut, apakah doktrin Henry Kissinger: “control oil and you control nation, control food and you control the peoples” sudah dianggap tidak relevan untuk masa kini atau sudah dianggap basi? Tidak juga. Sudah diperingatkan, bahwa itu tidak serta merta, tidak hitam putih. Akan tetapi di masa kini, potensi ancaman asing di sebuah negara selain occupation atau pendudukan ruang digital melalui pencurian data kependudukan akibat lemahnya supremasi digital, dan yang memprihatinkan disektor ekonomi digital ialah dana rakyat yang kerapkali dibawa kabur ke luar akibat banyaknya aplikasi dan sosial media produk asing yang mana itu beroperasi secara masif (Probabilitas Cyberwar).

Teori ruang mendiskripsikan, bagaimana bangsa -bangsa di dunia mencoba tumbuh dan berkembang dalam upaya mempertahankan kehidupannya.
Friedrich Ratzel merumuskan bahwa hanya bangsa unggul yang dapat bertahan hidup dan langgeng serta melegitimasi hukum ekspansi. Beliau juga menjelaskan, jika ruang diperluas akan ada yang diuntungkan dan dirugikan. Bila ruang tidak memiliki nilai strategi, maka akan dicampakkan. Bertambah atau berkurangnya ruang suatu negara karena berbagai sebab-akibat, itu selalu dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan negara.

Disisi yang lain, dalam dimensi keamanan negara dan bangsa, ruang dapat diartikan secara ril, contohnya fisik geografi , namun ruang dapat juga diartikan secara semu atau nonfisik seperti dunia maya, cyber space dan atau supremasi digital. Inilah ruang baru di era 4.0 yang mutlak harus dikelola oleh negara. Kenapa?
Sebab di era society 5.0 nantinya, dominasi dan peran digital system seperti big data, internet of things dan AI (Artificial of Intelligence) serta dunia siber bakal semakin vital dan urgentif. Jika tidak, maka dunia digital Indonesia bakal menjadi lahan empuk bagi aplikasi dan media sosial asing yang setiap saat siap mengobrak-abrik pertahanan ruang siber kita.

Sebagai epilog tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa teknologi sedang menciptakan planet yang demokratis, dimana hak dasar manusia adalah untuk mempunyai identitas legal dan kesempatan untuk apapun itu. Ini tentu akan menjadi dunia yang paling berat sekaligus yang lebih baik dari yang pernah ada.

Bersiaplah sahabat !

Penulis: Muh. Ilman Na’fian